
Seorang kawan pernah melontarkan celetukan lucu yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika itu dia mengutip pernyataan tipikal kebanyakan orang, “Eh, filmnya bagus, deh… sedih!”
Entah kenapa saya mengingat celetukan itu terus, mungkin karena dalam kalimat itu terdapat ironi yang terus-menerus berulang, dan sekaligus mencerminkan pengalaman kita—kebanyakan dari kita—di dunia nyata. Kita semua suka akan drama dan terpikat pada daya tariknya. Karena itulah tanpa disadari kita pun senang membuat drama sendiri dalam hidup kita.
Drama dalam hal ini adalah kejadian atau situasi yang membangkitkan gairah dan emosi. Kadang kala kita memang membutuhkan sedikit drama di dalam hidup, karena kita adalah makhluk yang dilengkapi indra perasa (sentient being), selain kemampuan untuk berpikir. Hewan merespons dengan nalurinya. Konon, robot ada yang mampu berpikir secerdas manusia, tetapi mereka tidak punya rasa, dan karenanya tidak butuh dan tidak mungkin main drama.
Berkaitan dengan candaan kawan saya tadi, harus diakui kalau kebanyakan dari kita—khususnya perempuan—memang menyukai kisah sedih. Saya pun bertanya-tanya, apakah itu berkaitan dengan semacam kebangkitan rasa iba di dalam perasaan kita? Atau, justru kita merasa terhibur karena ternyata bukan hanya kita sendiri yang bisa mengalami kesedihan? Mungkin kedua-duanya. Namun apa pun rasa yang terbangkitkan itu, jangan-jangan berkaitan dengan kebiasaan!
Karena unsur drama ini pulalah kita menjadi amat peduli pada lika-liku kehidupan dramatis orang lain, khususnya para selebriti, karena memang mereka paling sering muncul di media massa. Kita juga sering merasa takjub pada tokoh-tokoh tertentu sehingga kemudian kita idolakan dan kita contoh segala hal yang ia lakukan, kenakan, ucapkan, pikirkan. Bahkan mereka kita jadikan pahlawan.
Dan dari kebiasaan, tanpa sadar kita terjebak dalam kecanduan. Sebagai makhluk yang dibekali indra perasaan yang selalu membutuhkan rangsangan, kita cenderung melekatkan diri pada rasa-rasa yang sering kita undang ke dalam hidup kita. Ibarat kecanduan alkohol, sesungguhnya kita tidak melekat pada zat alkoholnya, melainkan pada rasa ringan melayang yang timbul setelah menenggak alkohol. Kita tidak melekat pada zat-zat yang ada dalam berbagai jenis narkotika, tetapi kita kecanduan pada rasa atau sensasi yang dimunculkan oleh zat-zat itu.
Setelah memuaskan kebutuhan akan berbagai rasa itu, biasanya kita cenderung ingin mengundang lagi dan lagi sensasisensasi yang sama. Dan tanpa disadari, kita pun membentuk kebiasaan. Nah, di situlah kita sering kebablasan dan akhirnya lupa menyetopnya, karena kita sudah kecanduan. Setelah menyerap berbagai drama di luar, kita mulai membuat perbandingan-perbandingan, dan di bawah sadar mulai menyelipkan peran kita ke dalam kisah rekaan yang kita buat sendiri.