
Dengan begitu, kita bisa membungkus dan menyembunyikan diri kita yang sebenarnya, atau justru melarikan diri dari kenyataan. Kita jadi bisa melepaskan sementara beban-beban kecemasan, rasa takut, resah, galau, serta berbagai ketidaknyamanan yang muncul di tiap tikungan tajam kehidupan kita. Begitulah—alih-alih menjalani hidup secara nyata dan menghadapi kenyataan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, kita lebih senang memercayai dan menjalani drama-drama yang kita ciptakan sendiri.
Tapi kalau begitu, apa ruginya menjalani hidup dengan drama? Sepintas lalu sepertinya tidak ada ruginya. Namun yang kerap menjadi masalah adalah bila ‘main drama’ itu sudah menjadi pola dan kebiasaan. Kalau sudah begitu, bisa-bisa kita lebih suka meyakini dan mengikuti jalan cerita yang tidak sesuai dengan kenyataan. Yang lebih merupakan harapan dan keinginan palsu yang menyenangkan kita sesaat.
Tak heran bila kehidupan nyata kita sering kali berakhir dengan kekecewaan dan kegagalan. Tetapi karena sudah menjadi kebiasaan, tanpa disadari pola itu terus berulang dan berulang, membentuk semacam lingkaran setan—perlahan tapi pasti, kita akan memasuki drama yang sama, lantas terpuruk lagi pada kubangan yang sama. Kemudian kita mengeluh, “Oh, mengapa nasibku begini terus, ya?”
Padahal, sementara kita asyik berdrama, kita telah kehilangan banyak waktu untuk mengisi hidup dengan menggali potensi dan kelebihan diri kita sendiri. Kita kehilangan peluang untuk merintis ‘jalan’ kita sendiri, meskipun kemungkinan besar ceritanya akan menjadi biasa saja—tidak fantastis, tak semeriah dan segemerlap seperti yang tersaji di layar kaca, bioskop, dan headline media.
Namun setidaknya kita bisa mendapatkan sesuatu yang lebih berharga, yaitu perkembangan diri dalam menghadapi kehidupan yang nyata. Hidup akan terasa lebih bermakna bila kita mengalami dan menjalaninya secara nyata, bukan yang berbungkus drama-drama rekaan kita.
Kisah sederhana yang orisinal tentang diri kita inilah satu-satunya yang membuat kita semakin mengenal diri sendiri—kekuatan dan kelemahannya. Dalam ketakjuban kita pada gemerlap bintang dan lampu sorot yang menggairahkan di luar sana, kita sering lupa menampilkan diri kita yang sebenarnya. Lupa bahwa kita bisa menjadi pahlawan bagi hidup kita sendiri. Sayang sekali, kan?