Remaja Anda yang lugu dan lucu tiba-tiba harus mengalami cobaan hidup yang sungguh berat untuk usianya. Tapi kalau bukan kepada Anda, orang tuanya, kepada siapa lagi mereka bisa bergantung dan meminta pertolongan?
Sheila*, gadis remaja 16 tahun dan masih duduk di kelas dua SMA, dengan berurai air mata dan ketakutan mengaku dirinya hamil di hadapan ibunya. Boy, siswa kelas 3 SMP, dilaporkan ke polisi setelah ketahuan mengomsumsi sabu bersama beberapa temannya dan terpaksa diberhentikan dari sekolah. Sedangkan Abi, seorang remaja pria tampan, membuat jantung orang tuanya nyaris copot saat coming out bahwa ia memilih jadi transgender.
Kiamat! Mungkin seperti itulah yang dirasakan orang tua saat menghadapi kenyataan bahwa remaja kesayangan Anda ternyata tidak semanis dan selugu yang Anda pikir. Tapi sebagai orang tua, tentu saja Anda tidak bisa lepas tangan begitu saja—meskipun rasanya ingin terjun ke laut dan tak muncul lagi.
“Karena, kalau orang tua tidak bisa mengatasi masalah dengan bijaksana, remaja Anda justru akan makin terpuruk, tenggelam, dan mungkin tak pernah bangkit kembali. Mereka masih terlalu rapuh untuk bisa mengatasi sendiri masalah mereka,” demikian penjelasan Anna Surti Ariani, akrab disapa Nina, psikolog dari Universitas Indonesia.
Mencegah tetap lebih baik
Ketika masih bayi sampai mencapai fase anak besar atau late childhood (0-12 tahun), biasanya anak dekat dan masih sangat bergantung pada orang tuanya, terutama ibu, dan relatif banyak berkomunikasi. Tetapi begitu memasuki usia remaja atau teenager (12-18 tahun), anak akan mengalami gejolak-gejolak yang khas, baik secara fisik, hormonal, maupun emosional. Ia juga makin banyak terpapar dengan pergaulan di luar rumah yang penuh ancaman.
Fase remaja memang ‘ajaib’, begitu menurut David Elkind, seorang tokoh psikologi perkembangan. Perkembangan kognitif, hormonal, dan emosional remaja berlangsung sangat pesat. Perubahan itu bisa terlihat dengan jelas dari luar, tapi bisa pula hanya bergejolak di dalam hati dan pikiran mereka sendiri. Menurut Nina, ada tiga hal yang wajib dicermati oleh orang tua menyangkut remaja mereka.
Pertama, remaja biasanya memiliki sense of uniqueness. Dalam proses pencarian jati diri, mereka ingin menjadi diri sendiri, unik, lain sendiri–meskipun di sisi lain mereka kerap tidak siap dengan risikonya.
Kedua, sense of invisibility atau merasa kebal terhadap berbagai pengaruh buruk di sekitarnya. Mereka tahu bahwa narkoba berbahaya dan bisa membuat ketagihan, namun mereka merasa yakin tak bakal ketagihan kalau hanya mencoba satu-dua kali.
Ketiga, selalu ingin atau merasa menjadi pusat perhatian (center of attention), terutama di lingkungan pergaulan. Antara lain dengan bersikap sok jago atau suka menantang-nantang bahaya.
Di sisi lain, dia juga merasa setiap orang pasti memperhatikan dirinya; Baju yang dia kenakan, jerawatnya, potongan rambutnya, tubuhnya. Baginya, semua tak ada yang beres.
Kemampuan berpikir anak yang semula sederhana juga menjadi lebih kompleks begitu memasuki masa remaja. Begitu pula emosinya. Bila sebelumnya seorang anak hanya bisa merasakan lima emosi dasar (senang, sedih, marah, takut, dan jijik), setelah remaja rentang emosinya menjadi lebih kompleks. Mereka sudah bisa merasakan galau, bingung, benci, stres, dendam, bersemangat, dan sebagainya.
Bersamaan dengan itu, mereka juga mulai belajar menyembunyikan atau memanipulasi perasaan mereka yang sebenarnya, terutama di hadapan orang tua. Misalnya, dia sebenarnya takut, tapi yang ditampilkan adalah wajah sok cool. “Di sinilah orang tua harus lebih cermat dan sensitif mengamati setiap perubahan (sikap dan emosi) yang terjadi pada anak remaja kita dari waktu ke waktu. Soalnya, mereka juga sudah bisa berbohong atau bersikap tricky,” papar Nina.
Menciptakan komunikasi yang hangat dalam keluarga akan membuat anak merasa nyaman dan tidak takut bersikap terbuka terhadap orang tuanya.
“Begitu anak memasuki usia remaja, orang tua juga harus pandai-pandai men-switch peran sebagai orang tua sekaligus sahabat yang bisa dipercaya. Ajarkan anak untuk selalu terbuka dan bisa bicara tentang apa pun dengan orang tuanya. Sesekali berbeda pendapat tentu tak terhindarkan, tapi jangan dihadapi dengan sikap keras sehingga membuat anak jadi tak berani terbuka lagi, atau justru jadi suka berbohong,” Nina menambahkan.
Kehangatan dan kelancaran komunikasi antara orang tua dan anak dipercaya akan meminimalisasi kemungkinan anak terjerumus dalam masalah di luar rumah, karena orang tua tentunya tidak bisa mengawasi mereka 24 jam.
“Kedengarannya mudah, tapi sebetulnya sama sekali tidak mudah mewujudkannya. Keterbukaan dan kehangatan itu perlu dipupuk secara konsisten sejak anak masih bayi, bahkan sejak dalam kandungan. Diperlukan latihan dan trial and error sepanjang hidup. Bila tidak sanggup mengatasinya sendiri, Anda bisa meminta bantuan ahli,” pungkas Nina.
Anda bisa menyimak pengalaman tiga wanita ketika anak remaja tersayang mereka mengalami peristiwa yang menguji hati mereka.
*bukan nama sebenarnya, nama disamarkan demi privasi