
“Sekarang jarang ada jas yang potongannya setengah paha, pendek-pendek semua! Kurang cocok di badan aku,” kata Fifi saat kami mengobrol di sela-sela jam makan siang.
Pertama kali saya mendengar kisah Fifi dari seorang teman kantor, dan saya langsung tertarik. Ia telah melakukan hal yang bagi banyak wanita rasanya luar biasa: Menurunkan bobot dari 83 menjadi 63 kilogram dalam enam bulan. Sehari-hari Fifi disibukkan dengan kariernya sebagai karyawan bagian HRD di sebuah kantor pengacara di Jakarta.
Berat Fifi kini sama dengan masa sebelum menikah dulu. Katanya, selain bisa memakai kembali jas-jas yang telah lama tergantung di lemari, ia bisa mengenakan kembali jeans cutbray kesayangannya yang saat ini sudah jarang ada di pasaran.
Menu makan siang saya saat itu adalah sate ayam 10 tusuk—tentu dengan lontong supaya kenyang! Sedangkan Fifi memesan lima tusuk sate daging ayam dan 10 tusuk sate kulit agar kebutuhan lemaknya hari itu tercukupi.
Sudah enam bulan belakangan ini, memang, Fifi menjalani diet ketogenik. Ia mencukupi kebutuhan karbohidratnya dari sayur-sayuran (ia paling suka brokoli rebus). Sedangkan untuk buah, ia hanya mengonsumsi avokad dan beri-berian yang rendah gula. Sejauh ini, Fifi mengaku baik-baik saja.
Tetapi, apa sesungguhnya diet ketogenik? Sebagaimana diet umumnya, tujuan dari diet ketogenik pun tak jauh dari membuat badan lebih sehat—dan kalau bisa, lebih langsing. Tapi yang unik, diet ini sebetulnya jauh dari saran ahli gizi yang selama ini kita dengar.
Contohnya, para pelaku diet ketogenik akan mengonsumsi 70% lemak dari seluruh makanan yang dikonsumsi. Padahal jumlah konsumsi lemak yang disarankan WHO di website resminya (www.who.int) sebaiknya tidak melebihi 30%, agar terhindar dari kenaikan berat badan yang tidak sehat.
Diet ini juga menganjurkan para pelaku untuk membatasi karbohidrat. Makan karbohidrat boleh saja, tapi dalam jumlah yang sangat kecil. Sederhananya, 70% lemak, 25% protein, dan 5% karbohidrat. Surga banget, kan? Langsung terbayang di benak saya ragam makanan seperti sirloin steak, keju, kulit ayam goreng, dan jus avokad. Lemak jalan terus, tapi badan tetap langsing sesuai impian.
Sepintas, kisah Fifi memang terdengar too good to be true. Namun jika dirunut, diet rendah karbohidrat ini memang sudah lama hadir di dunia. Dulu, pada era 1920-an, diet ketogenik dipakai untuk menangani penderita epilepsi. Sejak berdiet ketogenik, pasien epilepsi dilaporkan jarang kambuh.
Seiring waktu, diet-diet rendah karbohidrat—sedikit makan karbohidrat, tetapi lemak atau proteinnya diperbanyak—lainnya bermunculan, seperti Diet Atkins yang memperbanyak konsumsi protein, yang diciptakan pada 1972.
Ada pula South Beach Diet yang muncul pada 2003, yang menganjurkan praktisinya untuk tidak mengonsumsi karbohidrat sama sekali di dua minggu pertama. Sebagai gantinya, mereka mengonsumsi protein tanpa lemak, seperti makanan laut, ayam tanpa kulit, daging sapi tanpa lemak, dan kacang kedelai.