
Gambaran umum tentang sebuah ibu kota yang ramai, padat, dan macet, seketika buyar ketika saya tiba di Reykjavik. Dan saya memilih menjelajahi ibu kota Islandia ini dengan berjalan kaki, meskipun harus menembus angin dan salju.
“Hi, do you love this country?” Tiba-tiba terdengar teriakan dari sebuah sedan yang berhenti di jalanan karena terhadang lampu merah. Sepintas saya melihat, setirnya ada di sebelah kiri mobil, seperti umumnya mobilmobil di Eropa. Saya yang saat itu sedang menjadi pedestrian di Reykjavik bersama Giri Prasetyo, serentak menoleh ke sumber suara. Dua perempuan berambut cokelat melambai-lambaikan tangan kepada kami.
Saya membalas dengan teriak pula, “Yes! Your country is so beautiful!”
“Enjoy your stay,” kata mereka sembari berlalu karena lampu sudah berubah hijau.

Saya memang sejak lama suka berjalan kaki. Mulai dari trekking keliling taman nasional, atau sekadar jalan kaki di seputar kota. Karena itu, saya mengamini perkataan Rebecca Solnit, pengarang Amerika yang menulis Wanderlust: A History of Walking (rilis 2002). Katanya, “Kota adalah sebuah bahasa, dan berjalan kaki (mengitarinya) adalah upaya untuk berbicara dengan bahasa tersebut.” Singkatnya, berjalan kaki adalah salah satu cara manusia untuk memahami sebuah kota. Inilah alasan utama saya memilih jalan kaki untuk menikmati Reykjavik.