
Masalahnya, mau atau tidak?
Pakar marketing dan bisnis Hermawan Kertajaya dari MarkPlus Consulting berpendapat, tantangan yang dihadapi seorang penerus sering kali justru lebih berat ketimbang orang yang merintis sebuah bisnis dari nol. Bagi orang yang merintis, ada kegairahan tertentu saat memulai suatu bisnis: Semangat menciptakan sesuatu yang baru, memperjuangkannya selangkah demi selangkah, melihat bisnisnya sedikt demi sedikit berkembang. Belum lagi adanya cita-cita untuk menyejahterakan keluarga dan anak-cucunya kelak.
Tapi tidak demikian bagi sang penerus. Pertama, mewarisi bisnis orang tua belum tentu ia punya minat yang sama terhadap bisnis yang dirintis orang tuanya, atau bahkan tidak berminat sama sekali. Bisa jadi ia akan ogah-ogahan melanjutkannya. Kedua, ada tanggung jawab moral besar yang harus ia pikul. Mulai dari nasib para pegawai yang menggantungkan nafkah pada perusahaan, hingga harus mempertahankan kemajuan yang telah dicapai generasi orang tuanya.
Padahal, banyak anak-anak para pebisnis (besar atau kecil), yang tidak terlatih (dan dilatih) untuk kelak melanjutkan usaha orang tuanya. Mereka tidak dilibatkan dalam urusan bisnis supaya sekolah mereka tidak terganggu. Mereka dimanjakan dengan harta, karena banyak orang tua beranggapan anak-anak tidak boleh mengalami hidup susah seperti mereka dulu—bahkan dibiarkan hidup berfoya-foya sebagai para sosialita, dari kelas kampung hingga di pergaulan internasional. Tak heran bila ketika tiba waktunya untuk mengambil alih tongkat estafet perusahaan, banyak yang tergagap-gagap dan tidak siap.
Padahal, menurut Hermawan, generasi kedua, ketiga, dan seterusnya, seharusnya justru lebih siap ketimbang generasi orang tua mereka dalam memimpin perusahaan. “Mereka lebih berpendidikan, wawasan dan networking-nya juga lebih luas. Yang menjadi masalah utama adalah mau atau nggak? Soalnya, segala macam ilmu marketing yang secanggih apa pun tidak akan banyak gunanya kalau seseorang pada dasarnya tidak memiliki jiwa entrepreneurship, jiwa pengusaha,” ungkap Hermawan.
Satu generasi bisnis biasanya berlangsung antara 25-30 tahun. Dalam rentang waktu itu bisa terjadi banyak perubahan, baik internal maupun eksternal. Perubahan internal perusahaan antara lain adanya pergantian SDM. Tenaga-tenaga andalan yang sebelumnya menjadi tulang punggung perusahaan, satu per satu pensiun atau dibajak oleh perusahaan lain. Sedangkan yang eksternal antara lain terjadinya perubahan tren bisnis. Misalnya, tren bisnis online yang membuat sejumlah bisnis konvensional menjerit.
Tapi bagaimana kalau tidak ada generasi penerus yang dianggap kompeten menerima tongkat estafet. Hermawan menyarankan, “Lebih baik realistis saja, serahkan ke tangan para profesional, daripada keukeuh harus jatuh ke tangan keturunan tapi malah jadi berantakan. Atau, lebih baik dijual saja selagi harganya masih tinggi. Karena kalau ditunggu sampai ambruk, harganya pasti jatuh.”