
Memasuki kota Lasem, kami melewati berhektar-hektar ladang garam yang digarap secara tradisional. Lasem memang terkenal dengan industri garam rakyat, ikan asin, dan terasi yang berkualitas tinggi. Konon, baik pembuatan garam, terasi, maupun ikan asin merupakan kemahiran yang diturunkan oleh kaum pendatang dari daratan Cina sejak zaman dulu. Jumlah pendatang Cina di Lasem cepat berkembang, antara lain karena kedatangan ‘kloter-kloter’ baru dari berbagai daerah, antara lain dari Batavia. Kota kecil ini pernah dibanjiri kaum Cina pelarian dari Batavia. Sejarah mencatat, pada Oktober 1740 terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap warga Cina di Batavia, karena VOC beranggapan kedekatan orang Cina dengan pribumi bisa membahayakan kelangsungan bisnis mereka.
Siang itu lalu lintas cukup padat, sehingga bus yang kami tumpangi mengambil jalan pintas. Tidak menggunakan jalan pantura yang cikal bakalnya diprakarsai gubernur jendral Herman Willem Daendels pada awal abad 19. Jalan legendaries itu dinamai Groote Postweg, terentang dari Anyer hingga Panarukan (Gresik), mengikuti kontur garis pantai wilayah Lasem. Dikabarkan motif batik kricakan yang mirip pecahan batu (sering juga disebut motif watu pecah) dianggap lambang bukti penderitaan rakyat. Motif ini mengingatkan betapa beratnya tugas memecah bongkahan batu dengan alat yang sederhana untuk membangun jalan pos tersebut.
Namun justru dengan adanya Groote Postweg, perdagangan di kota Lasem tumbuh pesat. Bila pada awalnya Sungai Regol merupakan satu-satunya sarana transportasi, maka jalan darat yang dibangun dengan darah dan air mata itu merupakan pilihan yang lebih praktis. Jika semula rumah-rumah tauke Cina menghadap ke sungai, sejalan dengan perkembangan ekonomi banyak rumah yang dibangun di tepi jalan, sesuai dengan fengshui masing-masing pemiliknya.