
Agaknya firasat Bi Nang Un tidak meleset. Warga Lasem, sama seperti penduduk pesisir pantai Jawa lainnya, ramah terhadap pendatang. Kapal penjelajah Eropa yang mencari sumber cengkeh dan pala ke wilayah Indonesia Timur, serta ratusan kapal niaga dari berbagai kerajaan di Asia singgah di sana dan disambut penduduk dengan tangan terbuka. Kebiasaan, kemahiran, bahkan kepercayaan para pendatang secara alamiah terserap ke dalam kehidupan sehari-hari mereka. Besar dugaan, agama Islam dibawa oleh para pedagang Cina jauh sebelum kedatangan Laksamana Cheng Ho.
Hingga sekarang, pemeluk Islam dan Buddha hidup damai berdampingan. Masjid dan klenteng rata menyebar di antara rumah penduduk. Begitu pula pondok pesantren. Selain jumlahnya cukup banyak, mutu pendidikannya pun terkenal baik, sehingga di kalangan muslim, Lasem sering dijuluki Kota Santri. Di sisi lain, di suatu bukit terdapat patung Buddha yang berukuran cukup besar dalam posisi tidur. Konon, keberadaan patung berlapis emas itu juga sudah ratusan tahun.
Klenteng Cu An Kiong dipercaya sebagai klenteng tertua di Jawa, didirikan pada abad ke-15 oleh sekelompok perantau asal Yunnan. Sebelum melaut, mereka merasa lebih nyaman bila memohon doa terlebih dulu kepada dewi laut bernama Thian Shang Sheng Mu. Dewi laut ini ditempatkan di altar utama, terletak di bagian belakang klenteng tersebut, sebagai hasil renovasi terakhir pada tahun 1868. Bentuk awal klenteng ini sangat sederhana, atap dan dindingnya pun terbuat dari rumbia. Namun, seiring dengan kehidupan yang mulai mapan dan dana pemugaran terkumpul cukup banyak, mereka mendatangkan pengukir kayu dari Guangdong. Di sekeliling dinding dan pilar-pilar klenteng yang sudah diperluas itu kini dihiasi berbagai ukiran yang sangat halus dan indah – kabarnya banyak ahli ukir ini kemudian menetap di Kudus dan Jepara.