

Oleh: Sanie B Kuncoro
“Berilah dia kesempatan,” Bibimu berkata. Tekanan dalam suaranya adalah paduan antara perintah dan permohonan. Juga tatap matanya, menyorotkan daya pengaruh yang niscaya sanggup membuat seseorang untuk patuh.
Tapi kau tak hendak terpengaruh. Telah lama kau telanjur waspada. Pagar penjagamu telah terbangun sedemikian rupa, yang tak akan disadari sebelum benar-benar terbentur pada keteguhannya.
“Dia hanya ingin berziarah.” Suara bibi melembut kini. Agaknya akan berubah menjadi bujukan. Alih-alih bujukan itu melembutkan hati, justru seolah empedu pecah di dalam rongga mulut, melumuri lidahmu dengan pahit nan pekat. Kau berpaling, tanpa hendak melontarkan kepahitan itu melalui ketajaman lidahmu. Demi supaya bibimu tahu bahwa kau tidak dibesarkan dengan cara seperti itu.
Ziarah. Kata itu membawamu pada sebuah ingatan.
“Perabukanlah bila saatku tiba nanti,” demikian Ayah berkata pada suatu ketika. “Taburkanlah abunya, entah di laut atau sungai, sawah atau padang mana pun. Pilihlah yang termudah bagimu.”
Kau tercekat. Bukan karena kau berpikir bahwa itu adalah sebuah pertanda tentang takdir ajal yang mendekat. Melainkan lebih karena kepekaan dengarmu menangkap sesuatu.
“Mengapa?”
“Supaya ayahmu ini tidak menjadi nisan kesepian,” gumamnya di antara senyum yang getir.
Matanya. Jauh di kedalamannya kau melihat kesepian yang hampa, kerinduan yang merana. Tentang penantian yang percuma. Dan kau dengar kalimat yang tak terucap itu. Dia tidak akan pernah pulang, Nak. Padaku, entah padamu.
Dadamu sesak. Entah berapa ribu butiran pasir memenuhi lorong napasmu, tak tersisa ruang-ruang udara yang akan memberimu kelegaan.
“Selalu ada masa seseorang untuk pulang. Entah membawa pembuktian sesuatu, penyesalan, atau bahkan dendam. Ziarah menjadi pertanda penebusan-penebusan semacam itu.” Suara Bibi kini serupa gumam, lebih kepada dirinya sendiri. Setidaknya demikianlah tafsirmu.
“Bukannya tanpa maksud Ayah minta diperabukan,” katamu tetap teguh. Mahir menjaga kelembutan nada suara tetap pada koridor etika yang kau patuhi. Bukan demi membuatmu tampak santun, namun lebih untuk membuktikan betapa Ayah membesarkanmu dengan cara yang sangat beradab.
“Kalau kau tak hendak menemuinya, setidaknya izinkanlah dia datang pada tempat di mana abu itu ditabur, demi bertemu ayahmu.” Suara bibi makin lembut, layaknya sebuah permohonan.
“Bukankah sia-sia? Pastilah angin telah menerbangkan abu itu dan hujan melarutkannya. Tidak ada lagi jejak tertinggal.”
“Mereka akan memiliki caranya sendiri untuk menebus masa silam yang tidak kita pahami. Kau tak akan mampu melakukan penghalangan itu.” Datar suara itu, tidak lagi membawa bujukan atau niat memengaruhi. Tapi justru meluncur kalimat itu serupa gerak lurus peluru yang menerjangmu di titik nadi.
“Bagaimana bila kukatakan sembarang tempat?”
“Kau tidak akan sanggup melakukannya.” Bibi bergeming menatapmu dengan percaya yang tak goyah. “Tidak pada ibumu, apalagi pada ayahmu.”
Kalimat itu menyergapmu. Benar, kau tak akan sanggup. Barangkali pias wajahmu, atau justru merah padam. Sienna. Kau berpikir tentang warna itu, merah yang pekat. Itulah warna semburat langit pada arah bayang itu pergi. Kau melihatnya menjauh dan warna itu menelannya untuk tak pernah kembali. Itulah bayang Ibu dalam gerak yang bergegas. Alih-alih meminta izinmu untuk pergi, bahkan tak ada pamit terucap. Tak berpaling saat kau memanggil, tak pula berhenti saat kau tersedu. Dan kau dapati betapa tak berharganya dirimu, sehingga tak sanggup membuat seorang ibu tetap tinggal demi menjagamu. Mengantarmu pada sebuah kesimpulan bahwa kau adalah anak yang layak ditinggalkan. Tangismu berhenti, matamu kering menatap warna langit yang tak pernah memudar dalam ingatan.