***
Sesuatu membangunkanmu. Aroma gaharu. Selendang Ibu bergerak lembut pada bahumu. Memberimu tak hanya rasa hangat, juga wangi kayu yang mengembalikan kenangan-kenangan yang sejatinya tak pernah meninggalkanmu, sekalipun kau menghardiknya berulang kali. Itulah ingatan tentang senandungnya yang melelapkanmu. Dekapan hangatnya yang tak pernah kau lupakan. Usapan menenangkan yang kau rindui pada malam-malam penantianmu. Seketika dadamu sesak. Hatimu pahit. Sayup kau dengar isak tangismu bertahun silam, menggapai bayang menjauh yang bergegas meninggalkanmu. Bahumu berguncang, bergetar hebat dirimu.
“Lepaskan, Nak, Ibu di sini….” Sepasang lengan merengkuhmu kemudian.
Bisikan itu, meredakan atau justru menarikmu dalam pusaran tak terkendali? Tergulung kau di dalam sana dengan penantianmu yang hampa, menumbuhkan kerinduan sekaligus kebencianmu karena ditinggalkan. Masa lalu yang menghadapkanmu pada kehilangan tak tertanggungkan, yang kau ingkari justru karena kau tak pernah berhasil menghentikan pencarianmu. Lalu kau tak berdaya. Rebah dirimu dalam dekapan, erat menggenggam seseorang beraroma gaharu yang selalu kau tunggu.
“Ayah,” kau mendengar sayup-sayup suara seorang anak berseru, “Ibu pulang, kepadamu, kepadaku….”