***
Ibumu, siapa sanggup menghadangnya? Dia selalu memiliki caranya sendiri untuk pergi atau datang dalam hidupmu. Dengan atau tanpa izinmu. Dulu warna merah yang padam menelannya, kini deretan lampu lorong apartemen menyiramnya dengan cahaya. Sepasang lengannya terbentang hendak merengkuhmu, namun langkahmu mundur menjaga jarak. Kau memilih tersenyum sopan dan membuka pintu lebih lebar demi mempersilakannya masuk dan mengabaikan wajah pucatnya yang terkejut. Kau sadari kemudian, bukan etika yang menggerakkanmu, melainkan lebih pada niat untuk menunjukkan tentang hidupmu yang baik-baik saja. Demi membuktikan bahwa kepergiannya tak cukup berarti untuk membuat hidupmu berlubang apalagi menjadikan masa depanmu tak berarah.
Kalian berbincang dengan canggung. Utamanya dirimu. Kau tak pernah berusaha bertanya, hanya menjawab dengan ringkas. Tampak betul kau tak hendak berbasa-basi. Sejatinya kau menunggu pertanyaan utama itu.
“Ibu terlambat mengetahui kabar itu,” katanya kemudian. “Kini ke mana Ibu harus datang?”
Kau diam sebentar, meredam apa yang gemuruh di dalam dirimu. “Akan kuantar, sesudah terjawab pertanyaan ini,” jawabmu kemudian. Pelan suaramu dengan intonasi tajam.
“Mengapa meninggalkan kami?”
Ibumu tercengang sesaat. Kau meilhat bulu matanya yang bergetar, menaungi mata yang gelisah menyimpan sesuatu. Kau pun tercengang mendapati kepahitan di kedalamannya yang tak terjelaskan. Hening kemudian.
“Jangan mencari jawabannya,” ibumu berpaling.
“Mengapa tidak?”
“Karena kau tidak akan sanggup menanggungnya.”
“Apa yang tidak sanggup ditanggung oleh seorang anak yang ditinggalkan?” sergahmu menggugat tajam. Belum kau lupa pertanyaan para tetangga dan teman yang menderamu nyaris setiap hari. Ke mana ibumu pergi? Mengapa dia pergi? Apa yang kalian lakukan padanya? Tak kau tahu bagaimana menemukan jawabannya bahkan bagi dirimu sendiri. Dan kini kau dianggap tak mampu menanggung jawaban yang kau cari itu?
“Maaf,” suara ibumu bergetar.
“Jawablah,” desakmu dingin.
Ibu menggeleng. “Sudah cukup yang kau tanggung, sebuah jawaban tidak lagi cukup berarti. Tak pula meringankan apa yang telah kau lalui, maka janganlah menjadikannya sebagai beban baru.”
“Alangkah bijak kalimat itu. Siapa mengira bahwa pengucapnya adalah seorang yang meninggalkan anaknya bahkan tanpa pamit?”
Ibumu menunduk. Tak hendak menghindar dari kibasan pedangmu. Menghadapkanmu pada jalan buntu yang tak memberimu jawaban. Memberimu kenyataan bahwa pencarianmu sia-sia, persis dengan penantianmu yang dahulu itu.
“Kalau begitu kita tidak akan berziarah ke mana pun,” katamu datar. “Besok pagi-pagi aku akan mengantarmu kembali ke rumah Bibi,” katamu lagi.
“Baiklah,” jawab Ibu dengan kesabaran yang teguh.
Sebaliknya kemarahanmu nyaris mencapai titik kulminasi, hendak meletup serupa butiran jagung meledak dalam suhu tinggi untuk menjadi popcorn. Saat yang sama justru membuatmu tak berdaya oleh karena niat besarmu untuk tidak sekadar membuatmu tampak santun, namun lebih untuk membuktikan betapa Ayah membesarkanmu dengan cara yang sangat beradab. Kau yakini bahwa kemarahan yang terumbar akan meruntuhkan kesan tentang hidup dan dirimu yang baik-baik saja. Maka kau menarik napas sepanjang-panjangnya.