***
Apartemenmu adalah sebuah ruang bertipikal studio. Tidak ada sekat di dalamnya dan hanya kau miliki satu tempat tidur. Maka kalian tidur berdampingan malam itu. Ibumu berbaring tenang. Napasnya teratur penanda lelap, membiarkanmu gelisah justru di ranjangmu sendiri. Kau dapati dirimu sebagai pengingat yang sendirian, membuatmu bertanya-tanya mengapa tetap kau ingat segala yang telah dia lupakan? Kau rasakan betapa pahit hatimu. Kau tak tahu bagaimana akhirnya kau tertidur. Barangkali karena kelelahan, entah kesedihan.
Dalam redup cahaya dia menatap tidurmu. Kerinduan dalam matanya adalah sulaman renda dari benang berdiameter nyaris tak terukur. Kau tak akan paham bagaimana dia menenun rindu yang pahit itu sepanjang penantiannya. Berjaga dia di sampingmu, tak hendak berkedip demi tak hilang kesempatan merengkuhmu secara nyata, tak semata dalam ingatan seperti yang dijalaninya sekian tahun ini. Dia menghitungnya sejak hari itu.
Kau pulas dalam gendongannya hari itu. Suatu hari ketika sebuah upacara pemakaman telah selesai. Selendang beraroma gaharu menyelimutimu dalam kehangatan.
“Dengan kematian Ibu, tuntas sudah segala utangnya kepadamu. Pun telah kubayar segala bunganya dengan menyerahkan hidupku padamu selama ini. Aku akan pergi sekarang.” Demikian dia berkata. Tegak kepalanya dengan tatap mata lurus.
“Baik. Tinggalkan anakku,” kata ayahmu lebih sebagai perintah.
Mata perempuan itu menyala. “Anakku? Telah kau ambil seluruhnya hidupku. Anak ini hartaku satu-satunya.”
“Maka tetaplah tinggal. Hidupmu adalah milikku dan akan tetap demikian.”
“Kau perdaya Ibuku dan akulah taruhannya. Cukup sudah, bebaskan aku.”
“Itu semua demi cintaku kepadamu, karena kaulah hidupku. Tidakkah kau paham?”
Bergeming perempuan itu. Sekaligus gemetar mendapati betapa cinta tak selalu indah dan membahagiakan. Justru didapatinya cinta yang membelenggu dan menjadikan mereka yang terpedaya sebagai budak-budak dungu yang hanya memiliki kepatuhan.
“Yang kau punya adalah cinta yang keji. Kau lebih sebagai penjajah, bahkan terhadap dirimu sendiri.” Bergerak mundur perempuan itu. Mempererat dekapan sembari menjauh. Pulasmu mulai terusik, tak kau ingat lagi mimpi apa yang sedang memberimu ruang bermain ketika itu.
Ayahmu bergerak. Dalam satu langkah kau beralih dekapan. Selendang gaharu melayang. Ibumu terhuyung dan terjatuh dalam sergapan yang tak terduga. Seorang anak menjerit oleh mimpi yang patah.
“Tak akan lahir dia tanpa benihku, maka dia adalah milikku.”
“Anakku…” Ibumu meraung. Hatinya patah seketika. Tahulah dia bahwa kematian ibunya tidaklah cukup. Bahwa ayahmu telah mendapatkan kunci baru untuk membelenggunya. Akankah dia memilih patuh?
“Telah kau rampas hidupku, bahkan dari diriku sendiri. Sekarang kau jadikan anakku sebagai penjaraku? Maka dengarlah ini: aku bersumpah bahwa hanya kematianmu yang menjadi penebus dendamku. Akan kulakukan ziarah bagimu!”
Sienna. Itulah warna langit pada arah Ibumu menuju. Dia mendengar tangisanmu yang memanggil. Selamanya seruanmu terpatri dalam ingatannya. Tak hanya patah hatinya, melainkan remuk. Namun dia memilih menjadi tiang batu. Langkahnya lurus tak berpaling. Dia tahu, sekali dia berpaling padamu maka tak sanggup langkahnya berlanjut, melainkan terpenjara selamanya oleh belenggu ayahmu. Belenggu yang tak pernah kau tahu.