Rumah Kapiten Pattimura

Ketika turun di Pelabuhan Haria, Negeri Saparua (negeri di sini diartikan sebagai pulau, tanah) tak terlihat seperti pelabuhan-pelabuhan lain yang beraroma laut. Yang langsung tercium justru aroma wangi cengkeh. Mungkin karena banyaknya cengkeh yang dijemur pinggir jalan-jalan desa. Saya mengunjungi sebuah rumah bercat putih dengan aksen hijau dan merah muda, hampir serupa dengan rumah-rumah di sekitarnya. Yang membedakan adalah bagian dalam rumahnya.
Puluhan bingkai tertempel di seluruh dinding ruang tamu, berisi peta-peta benteng Belanda, strategi penyerangan, perjanjian-perjanjian yang ditulis tangan maupun dengan mesin ketik, serta salinan naskah pelantikan Pattimura sebagai panglima besar bergelar Kapitan. Ya, inilah rumah Kapitan Thomas Matulessy yang dikenal sebagai Pattimura Angky Matulessy, seorang keturunan dari keluarga besar Matulessy, mengurus rumah warisan ini dengan sangat baik.
Dari beliau saya baru tahu bahwa hingga gugurnya, Pattimura tidak pernah menikah. Tak banyak barang-barang pribadi peninggalan beliau yang tersisa, hanya sepasang baju dan celana tenun, kain berang, parang perang, dan sebuah koper yang tersimpan dalam sebuah etalase. Bung Angky meminta izin untuk berganti pakaian, lalu muncul kembali dalam pakaian kebesaran berwarna hitam dengan ikat pinggang dan kain berang berwarna merah. Gagah sekali. Inilah keturunan darah Pattimura.
Dengan bangga Bung Angky menceritakan sejarah perang Maluku, betapa perjuangan Pattimura membuat pusing pemerintah VOC. Dengan berapi-api pula Angky menyampaikan pesan dari Pattimura untuk anak bangsa: “Jangan sekali-kali menjual kehormatan diri, keluarga, dan terutama bangsa dan negeri ini!” Duh, sampai merinding saya mendengarnya.