Desa Ouw

Mendekati Desa Ouw, harum aroma cengkeh makin tajam. Banyaknya cengkeh berwarna-warni yang dijemur di pinggir jalan mengharuskan pengendara motor atau mobil untuk mengalah. Desa Ouw terletak di ujung selatan pulau. Desa ini dulu dikenal sebagai desa pembuat tembikar. Oma Olin adalah salah satu pembuat tembikar yang masih tersisa. Umurnya sudah 70 tahun.
Ketika saya datang dan duduk di teras rumahnya. Oma Olin langsung berjongkok, mendemonstrasikan cara membuat tembikar. Dengan lincah tangannya menguleni tanah liat, sesekali menaburi pasir, lalu mulai membentuknya menjadi sempe (mangkuk besar untuk wadah papeda). Percaya atau tidak, kurang dari 30 menit, mangkuk sudah rapi terbentuk dan langsung dijemur di halaman depan rumahnya.
Untuk mendemonstrasikan cara membakar tembikar, Oma Olin mengeluarkan beberapa sempe lain yang sudah siap bakar, menyusunnya sedemikian rupa di antara tumpukan pelepah sagu, dan membakarnya seperti api unggun.
Sekitar 20 menit kemudian, Oma Olin mengambil sebuah sempe yang ‘sudah jadi’, lalu masih dalam keadaan panas, mengolesinya dengan getah damar. Menjadikan sempe itu berwarna cokelat mengilap. Oma Olin menjualnya seharga Rp 25.000.
Sambil memangku sempe yang masih hangat dan berbau getah damar yang lekat, saya menatap pesisir pantai. Air laut yang tenang memantulkan cahaya matahari sore. Pemandangan yang benar-benar memanjakan mata. Mengalahkan ‘dentuman musik gila-gilaan’ dari speaker angkutan pedesaan yang saya naiki untuk kembali ke Saparua.
Teks dan foto: Terry E.S. Endroputro