
Sejarah panjang dan potensi pasar raksasa mendorong Indonesia berambisi menjadi kiblat modest fashion dunia pada 2020. Apakah itu sekadar mimpi?
I.
KAWASAN TANAH ABANG pada satu sore hari di awal Agustus itu tampak normal. Mobil-mobil boks dan bak berserak di sisi jalan, bongkar-muat bikin ruwet. Di tengah, satu-dua Mayasari Bakti berjalan enggan, seperti balok-balok puzzle raksasa menyumbat lalu-lintas. Mereka diselingi motor-motor yang berseliweran bagai lalat mengerubungi makanan. Dan orang-orang, para pedagang, pembeli, pengemis dan preman, sibuk dengan urusan masing-masing. Salah seorang dari mereka adalah Hajah Masnah.
Masnah, seorang ibu tiga anak, adalah pemilik toko jilbab Vera Collection di Blok B, Pasar Tanah Abang. Posturnya rata-rata: tidak tinggi, tidak gemuk, tidak putih. Sangat umum. Di usia yang 64 tahun itu ia masih tegak dan cekatan. Sorot matanya tajam, terkadang redup oleh bayangan kerudung yang membungkus kepala.
Sore itu Masnah menutup toko sedikit lebih awal. Ia lelah karena sepanjang hari banyak sekali pelanggan yang diladeni. Maklum, sejak mulai berdagang jilbab pada 2006 silam, tokonya kian laris. Setiap hari ia menjual sekitar 200 jilbab. Omzet-nya Rp4-6 juta per hari. Tapi kesuksesan itu tidak datang dalam semalam.
II.Tanah Abang adalah pusat tekstil terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Ada 13.000 kios di sana, dan Masnah mesti bersaing menggaet perhatian 7.500 pengunjung
MASNAH BUKANLAH PEDAGANG BARU. Pada 1980 ia sudah membuka konveksi di rumahnya di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Kala itu, ia membeli bahan, menjahit, dan memasarkannya sendiri ke toko-toko. Titip jual, sederhananya.
Bisnis pun berkembang. Delapan tahun kemudian, Masnah memberanikan diri membuka toko. Ia menamakannya Vera, sama dengan nama anak sulungnya. Pilihan lokasi jatuh pada kawasan Tanah Abang.
Tanah Abang adalah pusat tekstil terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Ada 13.000 kios di sana, dan Masnah mesti bersaing menggaet perhatian 7.500 pengunjung yang datang setiap harinya. Kala itu Masnah berjualan pakaian anak, terutama anak laki-laki. Alasannya, baju anak laki-laki lebih sederhana.
Lewat 25 tahun berusaha, Masnah berhasil. Dagangan laku keras. Selain berjualan di toko, Masnah juga mengekspor 2-3 ribu lusin pakaian ke Afrika dan Asia Tengah. Tetapi waktu terus berjalan, dan situasi berubah.
Saat itu awal 2000-an dan Masnah mulai menua. Dua anaknya sudah menikah dan ikut suami. Ia merasa tak sanggup lagi untuk mengurus semua pesanan hanya dengan Dina, putri bungsunya. Masnah ingin beralih dagangan, ingin sesuatu yang tidak terlalu merepotkan… tapi punya potensi pasar besar.
Di rentang waktu yang bersamaan, satu tren busana sedang menunggu momentumnya untuk meledak.