Meledaknya tren mode busana muslim - tentu saja - tidak hanya terjadi di Tanah Abang. Dalam 10 tahun belakangan, dunia pun melirik. Ada tiga faktor yang memengaruhi kesuksesan tren mode busana muslim di dunia.
Pertama adalah peran internet dan media sosial. Ia merupakan alat dahsyat untuk mendongkrak popularitas. Siapapun tentu ingat fenomena Sinta dan Jojo dengan joged “Keong Racun”-nya, atau mantan Britptu Norman Kamaru dengan “Chaiyya-Chaiyya”. Yang lebih serius, ada fenomena Arab Spring di mana peran internet dan media sosial amat menentukan.
Dalam konteks fashion, internet dan media sosial berperan sebagai wadah bagi setiap orang, termasuk pengguna busana muslim, untuk mengekspresikan diri. Apalagi, teknologi telah memungkinkan setiap orang untuk… selfie! “Saat ini, banyak orang berpikir ‘tampil itu penting’,” jelas Musa. Dan itu salah satu alasan tren mode busana muslim lebih ‘terasa’.
Hal tersebut - secara kebetulan - bertalian dengan pergeseran demografi pengguna busana muslim. Restu Anggraini dari lini busana Etu mengatakan bahwa saat ini, mayoritas peminat busana muslim adalah dari kalangan perempuan muda (20-30 tahun). Rahmat Ramadan, juga dari Etu, menambahkan bahwa banyak dari mereka telah bekerja, sehingga punya penghasilan sendiri dan mampu membeli barang-barang fashion.
Faktor kedua yang memengaruhi kesuksesan tren mode busana muslim adalah ‘kemasan’. Dulu, dunia tak peduli dengan busana muslim karena, secara desain, ia begitu konvensional dan berbeda dengan busana barat. Mereka tidak bisa mengenakannya, dan mereka tidak (atau belum?) memperhitungkan pasar raksasa di Asia.
Desain busana muslim era lama memang banyak yang ‘ajaib’. Siluet dan detailnya seringkali begitu wow, sehingga tidak bisa ‘berkomunikasi’ dan tak relevan dengan keseharian masyarakat Indonesia. Jilbab tujuh tingkat mungkin indah, tapi di mana letak kesederhanaan (modesty) nya? Outer bertumpuk-tumpuk memang berkelas, tapi siapa, sih, yang rela beli kain tujuh meter untuk satu baju? Dan ini membawa satu perdebatan baru.
“Salah satu esensi busana muslim itu, kan, kesederhanaan. Kalau tidak sederhana, bagaimana?” ujar Sjamsidar. Baginya, seorang desainer busana muslim mestilah mengikuti syarat-syarat yang tertera dalam Islam, baik secara tampilan maupun filosofi. “Bukan berarti jadi tidak bagus atau kreatif, lho. Justru di situ tantangannya.”
Model-model busana muslim yang muncul belakangan, meski tidak semua, memang kerap keluar dari tatanan dalam Islam. Dan ketika perdebatan muncul, saat itulah dirasakan perlu ada istilah baru yang lebih longgar dan luwes. Kemudian lahirlah istilah “modest wear”.
Istilah modest wear ini sesungguhnya juga problematik. Dari sisi pengertian, misalnya. “Modest”, secara bebas, bisa diartikan dengan “sederhana”, “santun” atau “sopan”. Namun seperti kita tahu, busana yang muncul seringkali lari dari kesan sederhana. Soal kesantunan dan kesopanan juga bermasalah karena keduanya sungguh hal yang relatif. Bikini, di pantai-pantai Eropa, adalah wajar. Tapi jangan coba-coba pakai di Aceh.
Uniknya, di sisi lain istilah modest wear juga terasa tepat dan praktis. Dengan menyebutnya modest wear, maka ia membuka kesempatan bagi desainer dan konsumen non muslim untuk berkontribusi. Ia memberi ruang lebih bagi para desainer untuk berkreasi. Ia lepas dari tatanan agama dan adat istiadat tertentu, dan karenanya menjadi milik semua orang.Ricky Pesik, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengatakan bahwa pertumbuhan industri fashion (satu dari 16 subsektor industri kreatif yang menjadi tugas pokok Bekraf) mencapai 6% di tahun lalu. Ia memiliki pertumbuhan paling besar, di atas kuliner dan kriya.
Bagi Lenny Tedja, Direktur Jakarta Fashion Week, modest wear saat ini bukan lagi satu jenis busana yang kaku dengan aturan tertentu, tapi punya pengertian lebih luas. Menurutnya, “Modest wear itu lebih ke styling.”
Pada kenyataannya, saat ini sudah banyak desainer yang bereksperimen dengan modest wear. Lini busana papan atas macam Chanel, Dolce & Gabbana hingga DKNY punya koleksi modest wear. Begitu juga label fast fashion macam Uniqlo. Di dalam negeri, kita punya Etu, Ria Miranda, Rani Hatta, Dian Pelangi, dan seterusnya. Jumlah itu diperkirakan terus bertambah, yang juga membawa kita pada faktor selanjutnya.
Faktor ketiga yang mendorong suksesnya modest wear di dunia adalah pasar dan potensi. Data Dinar Standard dalam State of Global Islamic Economy 2015 tentang belanja busana muslim menunjukkan angka mencolok, yaitu USD230 milyar pada 2014. Ini sekitar 11% dari nilai total belanja busana seluruh dunia. Ia diperkirakan tumbuh sebanyak 3,8% per tahun.
Berdasarkan data yang sama, Indonesia menempati urutan kelima dalam hal belanja busana muslim, dengan nilai USD12,7 milyar. Sementara negara dengan belanja tertinggi, secara berurutan adalah Turki (USD25 milyar), Uni Emirat Arab (USD18 Milyar), Nigeria (USD15 milyar), dan Arab Saudi (USD 14,7 milyar).
Tren di atas rupanya senada dengan tren di dalam negeri. Menurut Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementrian Perdagangan Tjahya Widayanti, kinerja ekspor busana muslim pada 2014 mencapai USD4,63 milyar, naik 2,3% dari tahun sebelumnya.
Di sisi lain, Ricky Pesik, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengatakan bahwa pertumbuhan industri fashion (satu dari 16 subsektor industri kreatif yang menjadi tugas pokok Bekraf) mencapai 6% di tahun lalu. “Dan industri fashion memiliki pertumbuhan paling besar, di atas kuliner dan kriya.”
Dengan performa dan pertumbuhan positif, serta dengan potensi pasar raksasa (87% penduduk Indonesia beragama Islam), modest wear kini merupakan bagian industri kreatif yang tak lagi dipandang sebelah mata oleh pemerintah.
Pemerintah berambisi menjadikan Indonesia sebagai kiblat modest wear Asia pada 2018, dan dunia pada 2020. Tapi seberapa dekatkah kita pada kenyataan?