
IV.
WAKTU ITU AWAL 2000-AN ketika Itang Yunasz, alumni Lomba Perancang Mode, memutuskan berubah haluan menjadi desainer busana muslim. Ia terinspirasi dari keinginan sang istri untuk berjilbab.
Saat itu banyak orang tidak yakin. Pasalnya, desain busana muslim belum mendapat perhatian khusus, baik dari kalangan desainer, pengusaha garmen dan tekstil, pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri. Plus, seperti yang dikatakan Itang kepada CNN Indonesia, “Dulu, busana muslim dianggap kampungan.”
Tapi di mata Itang, itu semua hanyalah potensi yang mesti dimaksimalkan. Itang sendiri punya obesesi ingin menjadi desainer milik semua kelas, ingin mengedukasi masyarakat tentang fashion, dan ingin mendandani masyarakat dari semua lapisan. Karena itu, Itang sengaja membuka toko di melting pot industri tekstil ibukota: Tanah Abang.
Konon, seseorang bisa mengetahui keabsahan sebuah ‘tren’ jika tren itu terdengar di kalangan akar rumput. Sebagaimana lantunan suara Ariel dari band Noah yang terdengar di Pasar Chattuchak, Thailand. Atau ketika semua pedagang Pasar Senen menjual legging Luna Maya, ketika Luna lagi dahsyat-dahsyatnya. Dan itulah yang terjadi dengan Itang.
Selang beberapa tahun sejak Itang membuka tokonya, apa yang terdengar santer dari mulut pedagang di Tanah Abang adalah “baju koko Itang Yunasz”. Seolah-olah semua pedagang menjualnya, karena seolah semua pembeli mencari.
Saat itulah semua orang mengetahui bahwa tren baru tengah meledak. Dan sebagai sesama pedagang di Tanah Abang, Masnah juga merasakannya.
V.Meski bernama kerudung Paris, sesungguhnya kerudung itu buatan Cina. Produk lain yang diminati adalah kerudung Bergo yang memiliki banyak pilihan bahan, dari jersey, spandex, hingga barber.
MASNAH MENYARANKAN DINA, anaknya, untuk membuka toko kerudung. Ia sendiri memutuskan berhenti memproduksi baju anak. “Begitulah kalau orang usaha. Begitu tahu ada yang lagi naik, kita langsung cari dan jual. Itu yang bisa bikin usaha cepat maju,” jelas Masnah.
Belakangan, hitungan Masnah terbukti jitu. Dengan menumpang ombak tren busana muslim, usaha Masnah dan Dina melaju cepat. Masnah ingat betul momen itu, “Waktu itu booming banget! Semua orang seperti ingin berkerudung. Orang-orang Malaysia juga datangnya ke sini.”
Terlebih lagi, dibandingkan dengan toko baju anak, Masnah dan Dina bisa mengurus toko jilbab dengan lebih mudah. Itu karena mereka tak lagi memproduksi sendiri, melainkan membeli bahan dan melempar produksi ke perusahaan konveksi di Bandung.
Opsi lain adalah impor dari Cina. “Cina memang begitu. Meski bukan pengguna jilbab, karena mereka tahu jilbab diminati, ya, mereka bikin juga,” jelas Masnah. Masnah biasa mengimpor per kodi dengan harga sekitar Rp600 ribu. Jika dirata-rata, harga impor per jilbab jadi Rp30 ribu. Ketika sampai di Indonesia, setengah kodi akan ia jual dengan harga grosir, dan sisanya akan diecer.
Salah satu produk andalan Masnah adalah kerudung Paris. “Ini kerudung yang lagi diminati anak muda, lagi ngetop. Harganya murah meriah, cuma Rp10 ribuan. Bahan enak dan warna lengkap. Jadi, sekali beli bisa setengah lusin,” jelas Masnah. Meski bernama kerudung Paris, sesungguhnya kerudung itu buatan Cina. Produk lain yang diminati adalah kerudung Bergo yang memiliki banyak pilihan bahan, dari jersey, spandex, hingga barber.
Dalam tempo 10 tahun (kurang dari setengah dari waktu yang dibutuhkan saat menjual baju anak), dari satu toko, Masnah dan Dina jadi punya empat toko. Omzet-nya mencapai Rp180 juta per bulan.
Namun pada awal 2016 lalu, Masnah dan Dina melihat ada peluang baru. Masnah menyebutnya baju fashion muslim. Dunia mengenalnya sebagai modest wear.