“Kalau menjadi pusat perdagangan, mungkin iya… tapi kalau kiblat modest wear, belum,” tutur Musa. Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara menjadi kiblat mode dan pusat perdagangan. Hal itu bisa tercermin dari persoalan karakter hingga mesin industri.
“Setiap kiblat punya ‘DNA’-nya sendiri. Misalnya, semua tahu kalau Parisian fashion is glamour, Italian fashion is about quality. Dan New York selalu memberikan sesuatu yang bisa dipakai sehari-hari,” Musa mencotohkan. Sederhananya, DNA adalah sesuatu yang terbentuk lewat konsistensi dan sejarah panjang. “Nah, apakah modest wear Indonesia sudah punya?”
Tantangan lain ada pada konteks ‘industri’. Agar sesuatu hal bisa disebut industri, rupanya ada banyak yang mesti dipenuhi. Dalam konteks fashion, ia meliputi pasokan bahan baku yang konsisten, adanya pabrik-pabrik pengolahan, distribusi yang merata, adanya event-event regular, hingga ekspor yang konstan. Hal-hal tersebut masih bolong di Indonesia.
Untuk bahan baku saja, Indonesia tidak punya produksi katun. Di rantai pengolahan, perusahaan garmen dan tekstil lebih suka menggarap pesanan merek-merek internasional, karena pertimbangan ekonomi. “Dulu mereka sombong karena biasa menggarap pesanan dalam jumlah banyak,” tutur Sjamsidar.
Daftar kekurangan Indonesia untuk menuju negara industri mode masih bisa bertambah panjang, tentu saja. Pun demikian, jika betul ingin mengejar ambisi menjadi kiblat modest wear dunia, alangkah baik jika semua pihak mulai bergandengan tangan.
Pemerintah, melalui Bekraf, bisa lebih fokus menangani industri mode, khususnya modest wear, dengan melibatkan lebih banyak pelaku mode di dalamnya. Hal itu juga demi efisiensi penyaluran dana Bekraf yang sudah dipangkas pemerintah.
Mulanya, anggaran dana Bekraf sebanyak Rp1,1 triliun, namun dipangkas 40% dan tersisa sekitar Rp660 milyar. Menurut Ricky, dari total 100% anggaran, sekitar 30% digunakan untuk pembiayaan infrastruktur, dan 70% sisa dana baru disalurkan ke 16 subsektor industri kreatif. Pembagiannya tidak prorata. Beberapa subsektor prioritas, seperti industri film dan fashion, mendapat dana lebih (Ricky tidak menyebutkan jumlahnya). Tapi jika kita menghitung sama, maka masing-masing subsektor mendapat sekitar Rp28 milyar. Jumlah itu relatif sedikit, jika kita bicara pembangunan industri.
Pemerintah juga bisa menerbitkan aturan-aturan yang mendukung industri fashion. Misalnya, aturan yang mengharuskan adanya kerjasama jangka panjang antara pengusaha garmen dan tekstil, pusat perbelanjaan, juga dengan para desainer. Di sinilah niat masing-masing pemangku kepentingan diuji.
Sinergi semua pihak adalah kunci untuk menjadi kiblat modest wear dunia. Jika tidak ada sinergi, maka mimpi tinggal mimpi. Bisa jadi, apa yang dikhawatirkan Musa akan menjadi nyata, bahwa kita hanya akan menjadi pusat dagang. Atau seperti yang Sjamsidar bilang, “Apakah kita puas hanya menjadi penjahit?”
VIII.
Waktu itu awal 2016 ketika Masnah melihat peluang baru untuk bisnis mereka di Tanah Abang. Tren baru sedang melejit. Dunia mengenalnya dengan modest wear, Masnah menyebutnya baju fashion muslim. Kala itu tiga bulan sebelum Ramadan tiba.
Saat itu Masnah berpikir, jika ingin sukses, maka inilah waktunya. Ia pun meminta Dina mengganti dagangan di salah satu toko kerudungnya menjadi modest wear. Sekali lagi, ia berencana menumpang ombak. Dan lagi-lagi hitungannya jitu. Ketika bulan puasa tiba, modest wear dagangan-nya laris bagai kacang, dan karenanya tetap dipertahankan hingga kini.
“Busana muslim masih bisa bertahan,” jelas Masnah soal tren di Tanah Abang. “Peminatnya bahkan makin banyak, termasuk artis-artis. Kini, 30-40% dagangan saya malah baju fashion.”
Pada sore di awal Agustus itu Masnah menutup tokonya lebih awal. Ia lelah karena sepanjang hari banyak sekali pelanggan yang diladeni. Di luar, kawasan Tanah Abang tampak normal. Mobil-mobil boks dan bak berserak di sisi jalan, satu-dua Mayasari Bakti berjalan enggan, motor-motor berseliweran bagai lalat mengerubungi makanan. Sore itu Masnah pulang dengan senyuman.
[Baca juga tentang dilema sustainable fashion di Indonesia]